Dari sahabat
baik saya Tom Iljas (Stockholm, Sweden), baru saya terima transkrip wawancara
sahabat saya itu dengan wartawan RCTV (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang
berlangsung pada pagi hari, tanggal 11 Agustus,
2005. Pandangan yang diajukan oleh Tom Iljas, adalah unik. Suatu pandangan salah seorang yang menurut istilah Gus Dur adalah "orang yang terhalang pulang". "Orang yang terhalang pulang" jumlahnya meliputi ratusan orang. Mereka itu adalah produk kesewenang-wenangan politik Orba yang tanpa proses apapun telah mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka atas tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Sesudah Presiden Suharto digulingkan (Mei 1998) oleh Gerakan Reformasi, berdiri pemerintah Presiden Abdurrahman sebagai hasil pemilu yang jurdil. Selanjutnya Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2000, dan khusus mengirimkan Menkumdang Yusril Ihza Mahenra ke Belanda, untuk mengurus kepulangan mereka-mereka yang "terhalang pulang" itu.
2005. Pandangan yang diajukan oleh Tom Iljas, adalah unik. Suatu pandangan salah seorang yang menurut istilah Gus Dur adalah "orang yang terhalang pulang". "Orang yang terhalang pulang" jumlahnya meliputi ratusan orang. Mereka itu adalah produk kesewenang-wenangan politik Orba yang tanpa proses apapun telah mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka atas tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Sesudah Presiden Suharto digulingkan (Mei 1998) oleh Gerakan Reformasi, berdiri pemerintah Presiden Abdurrahman sebagai hasil pemilu yang jurdil. Selanjutnya Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2000, dan khusus mengirimkan Menkumdang Yusril Ihza Mahenra ke Belanda, untuk mengurus kepulangan mereka-mereka yang "terhalang pulang" itu.
Tetapi
Menteri Yusril punya politik lain. Beliau tidak melaksanakan Instruksi Presiden
yang dibanggakannya dan dijanjikannya akan dilaksanakannya ketika beliau
mengadakan pertemuan dengan para "orang yang terhalang pulang" di
Belanda. Kongkritnya, di KBRI Den Haag, pada Januari 2000. Instruksi Presiden
itu "dipeti-eskan" oleh Menkumdang Yusril sampai saat ini. Yusril
jangankan menjamah, bicara-pun tidak lagi mengenai masalah kepulangan ini.
Tidak ada kesimpulan lain tentang menteri ini: Munafik!
Tindakan
sewenang-wenang Menkumdang Yusril memang punya latar belakang politik
pemerintah yang mendiskiminasikan "orang-orang yang terhalang" pulang
yang selama puluhan tahun diperlakukan sewenang-wenang tanpa melalui proses
hukum apapun. Padahal mereka-mereka itu sebagian terbesar di kirim bertugas ke
luarnegeri untuk studi demi nantinya mengabdi pada pembangunan Republik
Indonesia. Mereka ke luarngeri atas tugas pemerintah Presiden Sukarno. Tuduhan
terlibat dengan G30S yang dialamatkan kepada mereka-mereka itu, dilakukan
penguasa Orba tanpa bukti apapun, semata-mata fitnah dan rekayasa. Politik
peme-rintah terhadap mereka-mereka ini samasekali berbeda --- dengan politik
yang dijalankan pemerintah terhadap orang-orang "eksil" seperti
orang-orang GAM (dulu terhadap orang-orang PRRI-Permesta). Mereka itu (GAM dan
dulu PRRI-permesta) jelas-jelas telah melakukan pemberontakan bersenjata
terhadap pemerintah.
Republik
Indonesia. GAM jelas berniat hendak mendirikan negara sendiri, yang bisa
membawa akibat tercabik-cabiknya Republik Indonesia.
Tapi pemerintah
melakukan perundingan dan mencapai persetujuan dengan GAM
Wawancara
Tom Iljas, adalah jeritan keadilan yang timbul dari hati nurani dan
di-alamatkan kepada pemerintah Indonesia!
Sudah
waktunya pemerintah Indonesia mengkoreksi pelanggaran HAM yang dilakukan Orba
terhadap warganegaranya sendiri yang tak bersalah, yang ketika itu sedang
mengemban tugas negara. Sudah waktunya pemerintah mengambil langkah nyata untuk
merehabilitasi 'orang-orang yang terhalang pulang'. Lebih-lebih lagi
merehabilitasi -hak politik dan kewarga-negaraan sekitar dua puluh juta
warganegara tak bersalah Indonesia, dikenal sebagai "korban peristiwa
65". Pada saat-saat ketika seluruh bangsa akan memperingati Ultah Ke-60
Republik Indonesia, "para korban 65 ' itu masih mengalami tuduhan,
diksriminasi dan stigmatisasi - atas tuduhan sewenang-wenang, terlibat atau
berindikasi terlibat dengan G30S.
Pemerintah
Indonesia, bila sungguh-sungguh hendak menegakkan negara hukum Indonesia, bila
benar-benar hendak memberlakukan HAM, maka harus mengambil langkah nyata
merehabilitasi para 'korban 65' dan semua 'orang-orang yang ter-halang pulang',
seperti Tom Iljas, yang hak-hak kewarganegaraan dan politiknya telah dirampas
sewenang-wenang oleh rezim Orba..
Mari ikuti wawancara Tom Iljas di
bawah ini:
Interview Tom Iljas dng RCTI (Rajawali Citra
Televisi Indonesia), Sdri. Devi Trianna.
==============================================
Pandangan
saya, sebagai orang Indonesia yang telah lama tinggal di Swedia, terhadap GAM
dan orang-orangnya yang bermukim di Swedia
Sebelum
menjawab yang diajukan, Tom Iljas menguraikan singkat latarbelakang dirinya.
Tom adalah
salah seorang dari sekelompok orang-orang Indonesia yang terhalang pulang
karena dikaitkan dengan peristiwa 30S. awal tahun 60-an Tom Iljas tugas belajar
dari PTIP. ketika selesai studinua, peristiwa 30S. Passport Iljas ditahan oleh
bagian imigrasi KBRI. Sampai sekarang surat ketrangan bahwa paspornya masih
tersimpan .
Sebelum
peralihan kekuasaan tahun 65/66, salah satu kriteria yang tidak tertulis dalam
memilih pemuda-pemuda untuk belajar keluar negeri ketika itu yalah kecinta-an
kepada bangsa dan Tanahair Indonesia (patriotisme). Sebagai contoh: kasus Tom
Iljas sendiri, yang mendapat tugas belajar keluar negeri atas surat rekomendasi
Bupati Pesisir Selatan dan Gubernur Sumatera Barat kepada PTIP. Dalam surat
rekomendasi itu diingatkan Tom Iljas melawan pemberontakan PRRI. Salinan dari
surat rekomendasi tsb sampai sekarang masih ia simpan.
Selanjutnya
di jelaskannya bahwa kebanyakan dari para pemuda yang dikirim belajar
keluarnegeri ketika itu adalah seperti itu. Atau orang tuanya, pamannya,
anggota famili lainnya, ikut mendirikan/membela Republik Indonesia, atau ia
sendiri pernah ikut aktiv dalam membela Republik Indonesia, umpamanya aktiv dalam
demonstrasi-demonstrasi perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebanyakan mereka
dikirim belajar kenegeri-negeri blok sosialis karena biayanya sangat murah.
Setelah peristiwa 30S pemuda-pemuda dengan semangat cinta tanahair yang
berkobar-kobar ini tidak bisa pulang dan tidak bisa mengabdikan ilmu yang
dituntutnya di Indonesia.
Selesai
menngisahkan sedikir latar belakang tentang dirinya, Tom Iljas kemudian
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh wartawan RCTV, sbb:
Saya dan GAM
-- Sama-sama "eksil" -- Tetapi Pendirian Bertolak Belakang:
"Secara
lahiriah memang ada kesamaan antara saya (dan orang-orang seperti saya) dengan
orang-orang GAM, yaitu sama-sama eksil Indonesia di Swedia. Tetapi, dari
latarbelakang yang saya uraikan tadi mudah dipahami bahwa saya dan GAM secara
politik diametral berseberangan. Saya termasuk orang-orang yang membela
keutuhan Republik Indonesia sedangkan GAM justru angkat senjata untuk
memisah-kan diri dari RI.
Namun,
meskipun bertentangan secara diametral, tetapi sesuai dengan hukum yang berlaku
din Swedia, kami tidak saling mengganggu, Tidak pernah terjadi bentrok apapun,
tetapi juga tidak saling berhubungan. Karena bermukim dinegeri kecil, sudah
barang tentu kadang-kadang bertemu dipasar, ditoko, dsb. Kadang-kadang bertegur
sapa tetapi pembicaraan tidak menyentuh urusan politik masing-masing.
Sehubungan
dengan keberadaan -orang Indonesia di Swedia, satu hal yang tidak dimengerti
oleh pemerintah Indonesia yalah bahwa hukum dinegeri ini tidak seperti di
Indonesia. Pemerintah bolak-balik mengirim Ali Alatas kemari mendesak
pemerintah Swedia untuk menindak GAM. Ini tidak mungkin dilakukan oleh
pemerintah Swedia, karena dinegeri ini orang tidak bisa dihukum atas dasar
pandangan politik atau ideologi. Setiap orang dijamin secara hukum untuk
berpendapat dan berserikat. Selama seseorang tidak melakukan tindakan kriminal
ia tak bisa dihukum. Di Indonesia seseorang bisa dihukum karena pandangan
politik atau ideologi yang berbeda dengan penguasa.
Apakah GAM
mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Swedia, apakah organisasinya diakui
pemerintah, dsb., bisa dijawab singakt: saya tidak. Mereka, orang-orang GAM,
menghidupi keluarganya seperti penduduk lainnya, kebanyakan malah melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang orang setempat enggan melakukannya seperti cleaning
service. Yang tidak bekerja karena berbagai sebab mendapat tunjangan sosial,
persis seperti orang-orang lainnya. Mengenai organisasinya diakui atau tidak,
selama AD/ART organisasinya tidak bertentangan dengan undang-undang Swedia
tidak ada alasan bagi pemerintah Swedia untuk melarangnya.
MENYAMBUT
PERDAMAIAN DI ACEH
Tanggapan
saya atas perundingan perdamaian: Atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan
RCTI, dijelaskan sbb: saya menyambut tercapainya perdamaian di Aceh.
Dengan
demikian penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan itu bisa diakhiri, dan
rakyat Aceh bisa hidup dalam kedamaian, bebas dari rasa takut dan bisa
membangun Aceh untuk hari depan yang lebih baik.
Tetapi saya
menyambutnya dengan rasa agak iri hati. Coba diurut saja, PRRI/ Permesta
memberontak, DI/TII memberontak, Kahar Muzakar di Sulawesi mem-berontak, RMS di
Maluku, di Papua, GAM di Aceh, dan entah dimana lagi. Semuanya diselesaikan
dengan rekonsiliasi, amnesti, kekeluargaan dan entah apa lagi namanya. Ahmad
Husein pentolan pemberontakan PRRI 1958 setelah PRRI dihancurkan ia hidup mewah
di Jakarta segala fasilitas dari pemerintah, tak pernah dibawa kepengadilan dan
tak menerima sangsi hukum apapun.
Bandingkan
dengan saya dan orang-orang seperti saya, yang sejak Desember 1959 sampai
terjadinya peristiwa 65 tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Tidak tahu
salahnya, dituduh terlibat peristiwa 30 September dan hak-hak kewarga-negaraan
dicabut tanpa proses pengadilan apapun, dan sampai hari ini pemerintah tidak
menggubris samasekali, menutup mata, kuping dan hati nuraninya. Bahkan seorang
diplomat KBRI Stockholm sendiri secara bergurau pernah bilang pada saya,
"Pak Tom harus berontak dulu baru digubris". Saya kemukakan pada
wartawan tsb. bahwa "Ini kan sangat tidak adil, sangat tidak
manusiawi".
Kameramen
yang mendampingi dan mendengarkan wawancara tsb menyela dan mengusulkan kepada
penginterview agar temanya dibikin dua, satu soal GAM dan satu lagi soal
orang-orang terhalang pulang, dijadikan tema tersendiri. Usul itu saya sokong,
sekaligus saya tambahkan bahwa sebenarnya dengan sikap permusuhan yang
ditunjukkan pemerintah-pemerintah sejak orde baru, yang rugi bukan saja para
eksil itu tetapi juga Indonesia secara keseluruhan.
Bahwa
sebenarnya para eks mahasiswa dan ilmuwan yang terdampar diluarnegeri itu cukup
potensial, contohnya ada seorang ahli ilmu pendidikan yang mempunyai prestasi
internasional, yang baru saja meninggal, Dr Sophian Walujo. Sebuah copy artikel
"Mengenang Dr Sophian Walujo" dengan lampiran-lampirannya (yang sudah
saya siapkan) saya serahkan pada penginterview untuk dibaca bila ada waktu.
Maksudnya untuk menggugah perhatiannya untuk mengadakan liputan tersendiri ttg
orang-orang terhalang pulang.
Demikianlah
pokok-pokok isi wawancara tsb
(Tom Iljas, Sweden, 13/8-22005)
Kolom IBRAHIM ISA 14 Agustus 2005.
0 komentar:
Posting Komentar