Bung Karno
dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor 6 Okt 1965, yang dihadiri juga
oleh Nyoto, seorang anggota Politbiro dan Wakil Ketua PKI yang menjabat Menteri
Negara diperbantukan pada Sekretariat Negara, mengatakan bahwa G30S terjadi
karena adanya tiga faktor. Penilaiannya ini diulangi lagi dalam pidato
Peleng-kap Nawaksara di depan Sidang MPRS pada 19 Jan 1967.
Ketiga
faktor dimaksud yalah:
1.
Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Lihainya
Nekolim.
Sebelum
menguraikan tiga faktor yang disebutkan Bung Karno di atas, sebaiknya kita
ketahui dulu penilaian Jenderal Suharto dengan Orde Baru-nya mengenai G30S.
Menurut Suharto, dipandang dari sudut mana pun, G30S sama dengan PKI. Itulah
sebabnya di belakang nama G30S ditambahkan “PKI”, sehingga menjadi G30S-PKI.
Tentang hal ini diuraikannya panjang lebar di dalam Buku Putih “Gerakan 30
September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, yang diterbitkan oleh
Sekre-tariat Negara pada tanggal 1 Okt 1994. Yang mengherankan, Buku Putih ini
sulit sekali diperoleh, entah disembunyikan di mana. Jangan-jangan karena
mutunya di-anggap oleh Suharto sama saja dengan film G30S-PKI, yang tadinya
harus ditayangkan di semua TV setiap tahun, tapi kemudian ditarik dari
peredaran, karena banyak kepalsuan di dalamnya.
Berikut ini sedikit
pengetahuan saya mencermati tiga faktor yang disebut oleh Bung Karno sebagai
penyebab terjadinya G30S.
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI
Pada tanggal
23 Juni 1965 delegasi Indonesia pergi Ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair,
yang dipimpin sendiri oleh Presiden Sukarno, berangkat dari Jakarta. Seperti
biasa, anggota delegasi diperkuat dengan ikut sertanya wakil-wakil NASA-KOM.
Wakil PKI adalah D.N. Aidit sendiri.
Konperensi
gagal diselenggarakan karena gedung konperensi yang dibangun oleh Uni Soviet,
telah diledakkan oleh satu komplotan yang tidak jelas waktu itu. Delegasi Bung
Karno berhenti di Kairo. Di sini diselenggarakan KTT Kecil empat negara, yaitu:
Indonesia, Mesir, Pakistan, dan RRT, yang memutuskan menunda konperensi enam
bulan, dan tetap akan diadakan di Aljazair.
Sesudah itu
Bung Karno dan rombongan meneruskan perjalanan ke Paris. Di sini para Duta
Besar kita di Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika Serikat dikumpulkan untuk
mendapat penjelasan dari Bung Karno mengenai penundaan KAA II tersebut.
Aidit juga
ikut ke Paris, tapi dari sana ia meneruskan perjalanannya sendiri ke Moskow.
Kesempatan selama berada di Paris, ia gunakan untuk mengadakan pembicaraan
dengan para pemimpin Partai Komunis Perancis. Kebetulan ketika itu juga sedang
berada di sana enam kamerad mereka dari Aljazair, yang melarikan diri dari
negeri mereka karena takut ditangkap oleh Kolonel Boumedienne, yang telah
berhasil menggulingkan dan merebut kekuasaan Presiden Ben Bella.
Sekembali
Aidit dari pertemuan di hotel tempatnya menginap. Aidit berkata kepada delegasi
wartawan Indonesia yaitu karim D.P ‘’berdasarkan
bahan-bahan yang disampaikan oleh kamerad-kamerad dari Aljazair, karakter coup
d’etat Boumediene dapat dikategori-kan sebagai coup d’etat yang progresif. Oleh
karenanya patut didukung oleh rakyat. Jika 30% dari rakyat mendukungnya, maka
coup d’etat itu bisa diubah sifatnya menjadi revolusi rakyat yang akan
menguntungkan perjuangan rakyat Aljazair.’’
Aidit
mengatakan kepada-nya, bahwa di Indonesia sudah diketahui adanya rencana coup
d’etat yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal untuk menggulingkan Presiden
Sukarno. Coup d’etat yang hendak dilancarkan Dewan Jenderal itu, adalah coup
d’etat yang reaksioner, berbeda dengan yang telah terjadi di Aljazair.
Aidit kemudian
memerintahkan kepada Ketua Biro Khusus PKI Syam Kamaruzzaman, supaya bergabung
dengan perwira-perwira maju yang akan menggagalkan coup d’etat Dewan Jenderal. Beberapa
mantan Tapol PKI mencerita-kan, bahwa rapat-rapat persiapan gerakan yang
tempatnya berpindah-pindah itu selalu dipimpin oleh Kamaruzzaman. Adit atau
tokoh-tokoh PKI lainnya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat ini. Kamaruzzaman
mula pertama dibawa oleh Untung, dan diperkenalkan sebagai intelnya pribadi.
Banyak
tokoh-tokoh PKI yang ditahan di Salemba menolak jika dikatakan PKI terlibat
dalam G30S. Kamaruzzaman tidak bisa dikatakan mewakili PKI, karena oleh PKI
sendiri kemudian tokoh ini dianggap misterius. Ia bahkan diduga agen CIA yang
ber-hasil diselundupkan ke dalam tubuh PKI dan berhasil pula mengibuli Aidit.
Nyono
sebagai Sekretaris PKI Komite Daerah Besar Jakarta Raya yang dihadapkan ke
sidang Mahmilub, tidak berhasil menghindarkan tuduhan keterlibatan PKI.
Sehingga oleh karenanya ia dijatuhi hukuman mati.
Belum sampai
coup d’etat Dewan Jenderal menjadi kenyataan, sudah didahului oleh Gerakan 30
September yang secara tidak profesional membuat pernyataan men-demisionerkan
Kabinet Dwikora. Tetapi pendemisioneran itu sama sekali tidak efektif. Bahkan
para anggota Dewan Revolusi, yang ditugasi mengambil alih kekuasaan, tidak
seorang pun berfungsi. Karena mereka semua hanya diumumkan begitu saja, tanpa
persetujuan atau dikonsultasikan dengan yang bersangkutan.
Walhasil,
G30S yang dipimpin oleh Untung Samsuri, hasilnya hanya membunuh enam jenderal.
Dan sesudah itu seluruhnya dihancurkan oleh Suharto pada tanggal 1 Oktober 1965
malam.
2. Lihainya Nekolim
Menjelang
meletusnya G30S Bung Karno sangat mencurigai seorang diplomat AS, Marshall
Green, yang dicalonkan oleh State Department untuk menggantikan Howard Jones
sebagai Dubes AS di Jakarta. Karena diplomat itu, diketahui oleh Bung Karno,
selalu membuat keonaran dengan mencampuri urusan dalam negeri negara-negara di
mana dia ditempatkan.
Dr.soebandrio
dan A.karim DP diperintahkan untuk mempelajari konduite Marshal Green yang ada
di dalam bundel Menlu Dr. Subandrio. Rupanya ada ketidaksengajaan dari petugas
yang memberikan map kepada mereka. Dalam map itu terdapat juga konsep Surat
Persetujuan dari Pemerintah RI mengenai penempatan Marshall Green di Indonesia
yang sudah dalam keadaan terketik. Karim terkejut setelah membacanya. Karena
untuk apa mengadakan kampanye nasional menolak Green, jika Surat Persetujuan-nya
sudah disiapkan? karim pura-pura tidak tahu tentang konsep surat ini. Dan setelah
membaca semua isi map, karim mengembalikannya lagi kepada petugas.
Sesudah
karim katakan kepada Subandrio bahwa konduite Green sudah di pelajari,
Soebandrio lalu bertanya: Jadi, sekarang apa yang akan engkau kerjakan? karim
jawab: Melaksanakan perintah Presiden. Yaitu segera mengeluarkan instruksi
kepada semua penerbitan pers di seluruh Indonesia untuk melakukan kampanye
menolak Green.
Tiba-tiba
Subandrio mengatakan: Apakah engkau bersedia bertanggung jawab jika, sebagai
akibat dari kampanye nasional itu, Armada VII AS memasuki Teluk Jakarta dan
mengancam kita?
Dr.
Subandrio tidak setuju diadakan kampanye menolak Green. Karena itu karim mengatakan
kepadanya, segera akan menemui Bung Karno lagi dan menyampaikan sikap Menlu.
Subandrio mencegah karim pergi ke istana menemui Bung Karno dan mengatakan, ia
sendiri yang akan menyelesaikannya dengan Presiden. Beberapa hari kemudian
muncullah berita di surat-surat kabar, bahwa Marshall Green segera akan
menduduki posnya yang baru di Jakarta.
Tanggal 26
Juni 1965 Dubes AS Green menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden
Sukarno di Istana Merdeka. Agaknya Bung Karno tidak bisa menahan emosinya.
Dalam pidato jawaban setelah menerima surat kepercayaan itu, Bung Karno
menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Green menulis dalam memoarnya, bahwa
hampir saja ia meninggalkan ruangan upacara setelah mendengar serangan Bung
Karno. Tapi, katanya, tidak ada pilihan lain kecuali tetap berdiri sampai acara
selesai. Kalau ia meninggalkan acara, ia khawatir akan menyebabkan Sukarno
lebih marah dan mempersona-non-gratakannya. Green tentu tak mau diusir dari
Indonesia oleh sikapnya melanggar tatacara protokol, karena ia sangat
berkepentingan men-jalankan misinya, yaitu membantu mencetuskan G30S.
Marshall
Green berhasil sepenuhnya, di mana AS|membantu Jenderal Suharto meng-gulingkan
Sukarno.
Pada Mei
1990 Nona Kathy Kadane dari Universitas Columbia di AS, menyiarkan tulisannya
mengenai Indonesia yang dimuat dalam berbagai media cetak. Dalam tulisannya itu
ia mengemukakan, bahwa “pemerintah AS memainkan peranan penting dalam satu
usaha pembantaian terburuk di abad ini, dengan menyediakan nama-nama ribuan
pemimpin dan kader PKI kepada tentara untuk dibunuh atau ditangkap.”
Kathy Kadane
mengatakan, ada enam orang eksper pada Biro Intelijen dan Riset Departemen Luar
Negeri AS, yang beroperasi di Jakarta, dikepalai oleh Dubes Marshall Green.
Catatan di
atas salah satu contoh saja dari sekian banyak bentuk kerja nekolim di
Indonesia.
3. Ketidakberesan dalam tubuh kita sendiri
Sebelum
berangkat ke KAA II di Aljazair, sementara Kolonel Boumedienne baru saja
melakukan coup d’etat terhadap Presiden Ben Bella, seperti diuraikan di atas,
di Jakarta sudah beredar desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan
merombak personalia Kabinet Dwikora. Menurutnya personalia itu akan
mem-prioritaskan para jenderal dan tokoh-tokoh sipil yang antikomunis sebagai
menteri.
Menjelang
meletusnya G30S, di PWI masuk laporan tentang rencana susunan Kabinet Dewan
Jenderal tapi belum lengkap. Dalam susunan itu terdapat nama Dr. Ruslan
Abdulgani. Karena Ruslan Abdulgani adalah salah satu Ketua DPP PNI maka dengan
tegas Ruslan mem-bantahnya. Nama charul saleh juga terdaftar,namun ia pun
cepat-cepat membantahnya.
Susunan
Kabinet Dewan Jenderal masih sangat di-ragukan. Berita ini telah dibantah juga
oleh Menpangad Jenderal A.Yani, ketika ia ditanya oleh Presiden. Tapi
lama-kelamaan desas-desus ini menjadi fakta politik yang beredar di kalangan
masyarakat terbatas.
Baru sesudah
sidang Mahmilub dibuka, Letkol Untung membeberkan susunan Kabinet Dewan
Jenderal yang menyebabkan kelompok perwira-perwira maju melancarkan operasi
menangkap para calon menteri Kabinet Dewan Jenderal.
Mereka itu
ialah:
1. Perdana
Menteri: Jenderal A.H. Nasution
2.
WPM/Hankam/Kasab: Jenderal A.Yani
3.
WPM/Pembina Jiwa Revolusi/Penerangan: Jenderal (Tit.) Dr. Ruslan Abdulgani
4. Menteri
Dalam Negeri: Jenderal Suprapto
5. Menteri
Luar Negeri: Jenderal Haryono
6. Menteri
Kehakiman: Jenderal Sutoyo
7. Menteri
Jaksa Agung: Jenderal Suparman
Menteri-Menteri
lainnya tidak disebutkan.
Susunan
Kabinet Dewan Jenderal ini diungkapkan oleh Nyono, yang diadili kemudian. Dia
katakan bahwa susunan tersebut telah disahkan oleh rapat pleno Dewan Jenderal
tanggal 21 September 1965 di Gedung Akademi Hukum Militer, Jalan Dr.
Abdulrahman Saleh, di mana disebut-sebut bahwa anggota Dewan Jenderal
seluruhnya berjumlah 40 orang. Tapi yang aktif 25 orang, dengan tokoh utamanya
tujuh orang, yaitu: A.H. Nasution, A.Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo
dan Sukendro. Rapat pleno yang mengesahkan susunan Kabinet Dewan Jenderal itu,
kata Nyono, dipimpin oleh Suparman dan Haryono karena A.H. Nasution dan A. Yani
berhalangan hadir.
Rapat ini
juga memutuskan akan melaksanakan coup d’etat tanggal 5 Oktober 1965,
bertepatan dengan peringatan Hari Angkatan Perang (baca: G30S di Hadapan
Mahmilub - perkara Nyono - diterbitkan Pusat Pendidikan Kehakiman AD, hal.
276).
Juga Buku
Putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbitan
Sekretariat Negara (1994), pada hal. 63 menulis, bahwa pada awal September
1965, PKI melancarkan isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pada 5
Oktober 1965. Susunan Kabinet Dewan Jenderal yang dicatat dalam Buku Putih itu
hampir sama dengan yang diungkapkan Untung dan Nyono, kecuali mengenai tiga
portofolio. Yaitu untuk Dalam Negeri disebutkan akan dipegang oleh Hadisubeno,
Luar Negeri oleh Dr. Ruslan Abdulgani, dan Hubungan Dagang Luar Negeri dipegang
oleh Brigjen Sukendro.
0 komentar:
Posting Komentar